Kamis, 27 Oktober 2011

Biografi para Imam Perawi Hadis

Agus Subandi, Drs. MBA

Imam Ahmad ibn Hanbal

Ahmad bin Hanbal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Imam Ahmad)

Gaya penulisan artikel atau bagian ini tidak atau kurang cocok untuk Wikipedia.
Silakan lihat halaman pembicaraan. Lihat juga panduan menulis artikel yang lebih baik.

Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki.

Ahmad bin Hanbal (781 - 855 M, 164 - 241 AH)[1] (Arab أحمد بن حنبل‏‏ ) adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utaraIran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Biografi
o 1.1 Awal mula Menuntut Ilmu
o 1.2 Keadaan fisik
o 1.3 Keluarga
o 1.4 Kecerdasan
o 1.5 Pujian Ulama
o 1.6 Kezuhudannya
o 1.7 Wara’ dan menjaga harga diri
o 1.8 Tawadhu’ dengan kebaikannya
o 1.9 Sabar dalam menuntut ilmu
o 1.10 Hati-hati dalam berfatwa
o 1.11 Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
o 1.12 Masa Fitnah
o 1.13 Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
o 1.14 Guru
• 2 Murid-murid Beliau
• 3 Kewafatan Beliau
• 4 Karya Tulis
o 4.1 Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
o 4.2 Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
• 5 Referensi
• 6 Lihat pula
• 7 Pranala luar

[sunting]Biografi
[sunting]Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yamandan negara-negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tetang diri Imam Ahmad sebagai berikut:
"Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal"
Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru beliau pernah berkata,
"Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal"[2]
[sunting]Keadaan fisik
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”
[sunting]Keluarga
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.
[sunting]Kecerdasan
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”. Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.
Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.
[sunting]Pujian Ulama
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Ia sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
[sunting]Kezuhudannya
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
[sunting]Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.
[sunting]Tawadhu’ dengan kebaikannya
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”. Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Ia sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
[sunting]Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.
[sunting]Hati-hati dalam berfatwa
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya harap demikian”.
[sunting]Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.
[sunting]Masa Fitnah
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.
Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya. Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.
Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.
Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.
Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Ia mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.
[sunting]Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!
[sunting]Guru
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1. Ismail bin Ja’far
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5. Imam Syafi'i
6. Waki’ bin Jarrah
7. Ismail bin Ulayyah
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil
[sunting]Murid-murid Beliau
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
1. Imam Bukhari
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi'i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
[sunting]Kewafatan Beliau
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
[sunting]Karya Tulis
Beliau menulis kitab al-Musnad al-Kabir yang termasuk sebesar-besarnya kitab "Musnad" dan sebaik baik karangan beliau dan sebaik baik penelitian Hadits. Ia tidak memasukkan dalam kitabnya selain yang dibutuhkan sebagai hujjah. Kitab Musnad ini berisi lebih dari 25.000 hadits.
Di antara karya Imam Ahmad adalah ensiklopedia hadits atau Musnad, disusun oleh anaknya dari ceramah (kajian-kajian) - kumpulan lebih dari 40 ribu hadits juga Kitab ash-Salat dan Kitab as-Sunnah.
[sunting]Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
4. Kitab at-Tarikh
5. Kitab Hadits Syu'bah
6. Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
7. Kitab Jawabah al-Qur`an
8. Kitab al-Manasik al-Kabir
9. Kitab al-Manasik as-Saghir
[sunting]Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1. Kitab al-'Ilal
2. Kitab al-Manasik
3. Kitab az-Zuhd
4. Kitab al-Iman
5. Kitab al-Masa'il
6. Kitab al-Asyribah اﻞ
7. Kitab al-Fadha'il
8. Kitab Tha'ah ar-Rasul
9. Kitab al-Fara'idh
10. Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah
[sunting]Referensi
1. Disadur dari Biografi singkat para 'Ulama ahli hadist Abu rayyan (bicara) 09:47, 7 Agustus 2008 (UTC) Abu Rayyan
1. ^ http://muslim-canada.org/hanbalschool.html
2. ^ Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal, oleh Ibnul Jawzy, diteliti oleh Dr.'Abdullah Bin 'Abdul Muhsin At Turky, Rektor Universitas Muhammad Bin Su'ud Al Islamiyyah di Arab Saudi
[sunting]Lihat pula
 Sunni
 Mazhab Hambali
 Salafy
 Perawi hadits
 Ahlussunnah wal jama'ah
[sunting]Pranala luar
Imam Bukhari
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukhari (Lahir 196 H/810 M - Wafat 256 H/870 M) adalah ahlihadits yang termasyhur di antara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadits,hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Beliau diberi nama Muhammad oleh ayah beliau, Ismail bin Ibrahim. Yang sering menggunakan nama asli beliau ini adalah Imam Turmudzi dalam komentarnya setelah meriwayatkan hadits dalam Sunan Turmudzi. Sedangkan kuniah beliau adalah Abu Abdullah. Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; beliau dikenal sebagai al-Bukhari. Dengan demikian nama lengkap beliau adalahAbu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati terhadap hal hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci terutama Mekkah dan Madinah, dimana dikedua kota suci itu dia mengikuti kuliah para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 perawi disaring menjadi 7275 hadits.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok beliau kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah dermawan dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Penelitian Hadits
• 2 Karya
• 3 Di Naisabur, Bukhara, Samarkand, dan Wafatnya Beliau
• 4 Lihat pula
• 5 Catatan

[sunting]Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat di antaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahil yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
[sunting]Karya
Karya Imam Bukhari antara lain:
 Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari
 Al-Adab al-Mufrad[1][2]
 Adh-Dhu'afa ash-Shaghir[3]
 At-Tarikh ash-Shaghir
 At-Tarikh al-Ausath[4]
 At-Tarikh al-Kabir[5]
 At-Tafsir al-Kabir
 Al-Musnad al-Kabir
 Kazaya Shahabah wa Tabi'in
 Kitab al-Ilal
 Raf'ul Yadain fi ash-Shalah
 Birr al-Walidain
 Kitab ad-Du'afa
 Asami ash-Shahabah
 Al-Hibah
 Khalq Af'al al-Ibad[6]
 Al-Kuna
 Al-Qira'ah Khalf al-Imam
Di antara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain Ali ibn Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Muhammad ibn Yusuf Al Faryabi, Maki ibn Ibrahim Al Bakhi,Muhammad ibn Yusuf al Baykandi dan ibn Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi. Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada Perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali; ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Di sela-sela kesibukannya sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir. Bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.

[sunting]Di Naisabur, Bukhara, Samarkand, dan Wafatnya Beliau
Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai ke seantero dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal imam Muslim seorang Ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari dan yang menerbitkan kitab Shahih Muslim, kedatangan beliau pada tahun 250 H disambut meriah, juga oleh guru Imam Bukhari Sendiri Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menulis. "Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak melihat kepala daerah, para ulama dan warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari". Namun kemudian terjadi fitnah yang menyebabkan Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara beliau disambut secara meriah. Namun ternyata fitnah kembali melanda, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand sebuah negeri tetangga Uzbekistan, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand,. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas Salat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.
[sunting]Lihat pula
 Shahih Bukhari
 Cara Imam Bukhari dalam menulis kitab hadits
[sunting]Catatan
1. ^ (Arab) Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Al-Adab al-Mufrad (pranala unduhan, unduhan 200 KB).
2. ^ (Inggris) -----. Al-Adab al-Mufrad.
3. ^ (Arab) -----. Adh-Dhu'afa ash-Shaghir (pranala unduhan, unduhan 30.1 KB).
4. ^ (Arab) -----. At-Tarikh al-Ausath (pranala unduhan, unduhan 220 KB).
5. ^ (Arab) -----. At-Tarikh al-Kabir (pranala unduhan, unduhan 1.14 MB).
6. ^ (Arab) -----. Khalq Af'al al-Ibad (pranala unduhan, unduhan 590 KB).
Imam Muslim
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Iranian scholar
Era Medieval

Nama: Muslim ibn al-Hajjaj
Lahir: 202 H [1] atau 206 H/ 821 M[rujukan?]

Meninggal: 261 H / 875 M [2]

Aliran/tradisi: Shafi'i

Minat utama: hadits

Dipengaruhi: Ahmad Ibn Hanbal
Muhammad al-Bukhari [3]

Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi(bahasa Arab: أبو الحسين مسلم بن الحجاج القشيري النيشابوري), atau sering dikenal sebagai Imam Muslim (821-875) dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi.
Beliau juga sudah belajar hadis sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima hadis dari beliau ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadis shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua tokoh hadis ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli hadis. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia belajar hadis sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu `Ansan. Di Irak ia belajar hadis kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar; di Mesir berguru kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadis yang lain.
Beliau berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadis, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H, di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, beliau sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadis dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadis-hadis yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875. dalam usia 55 tahun.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Karya
• 2 Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
• 3 Referensi
• 4 Pranala luar

[sunting]Karya
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1. Al-Jami` ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih Muslim
2. Al-Musnad al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadis)
3. Kitab al-Asma wal-Kuna
4. Kitab al-Ilal
5. Kitab al-Aqran
6. Kitab Su`alatihi Ahmad bin Hambal
7. Kitab al-Intifa` bi Uhubis-Siba`
8. Kitab al-Muhadramin
9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid
10. Kitab Auladish-Shahabah
11. Kitab Auhamil-Muhadditsin
[sunting]Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadis mu'an'an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadis yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadis dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan - sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Ia juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadis Bukhari lebih shahih ketimbang hadis Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya kesahihan hadis riwayat Bukhari itu lebih tinggi daripada kesahihan hadisdalam Shahih Muslim.
[sunting]Referensi
Wikisource Arab memiliki teks asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Muslim ibn al-Hajjaj

1. ^ Huda Info Solutions : Sahih Muslim English Translation by Abdul Hamid Siddiqui - Introduction
2. ^ مناهج أئمة الجرح والتعديل
3. ^ منهج الإمام مسلم بن الحجاج
[sunting]Pranala luar
 Biografi Imam Muslim
 Terjemahan bahasa Inggris tentang Sahih Muslim
Abu Dawud
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Imam Abu Dawud (817 / 202 H – meninggal di Basrah; 888 / 16 Syawal 275 H; umur 70–71 tahun) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, beliau bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau yaitu Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana beliau menemui kematianImam Muslim, sebagaimana yang beliau katakan: "Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya".[1] Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur.
Setelah beliau masuk kota Baghdad, beliau diminta oleh Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan beliau menerimanya,akan tetapi hal itu tidak membuat beliau berhenti dalam mencari hadits.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Guru
• 2 Murid
• 3 Penyusunan Sunan Abu Dawud
• 4 Lihat pula
• 5 Catatan
• 6 Referensi

[sunting]Guru
Kemudian mengunjungi berbagai negeri untuk memetik langsung ilmu dari sumbernya. Dia langsung berguru selama bertahun-tahun. Di antara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulamalainnya.
[sunting]Murid
Demikian pula murid-murid beliau cukup banyak antara lain, yaitu:
1. Imam Turmudzi
2. Imam Nasa'i
3. Abu Ubaid Al Ajury
4. Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari beliau).
5. Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi kitab sunan dari beliau).
6. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al Faqih.
7. Isma`il bin Muhammad Ash Shofar.
8. Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau).
9. Zakariya bin Yahya As Saajy.
10. Abu Bakr Ibnu Abi Dunya.
11. Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab Nasikh wal Mansukh dari beliau).
12. Ali bin Hasan bin Al `Abd Al Anshory (perawi sunsn dari beliau).
13. Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi sunan dari beliau).
14. Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu`lu`y (perawi sunan dari beliau).
15. Muhammad bin Ahmad bin Ya`qub Al Matutsy Al Bashry (perawi kitab Al Qadar dari beliau).
[sunting]Penyusunan Sunan Abu Dawud
Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh mayoritas dunia Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling autentik. Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang sebagian ditandai beliau, sebagian tidak).
Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau, di antaranya Imam Turmudzi dan Imam Nasa'i. Al Khatoby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A'raby berkata, barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur'an dan kitab "Sunan Abu Dawud", maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.
Ia adalah imam dari imam-imam Ahlussunnah wal Jamaah yang hidup di Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah,demikian juga berkembang disana pemikiran Khowarij, Mu'tazilah, Murji'ah dan Syi'ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan diatas Sunnah dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya Al Qadar, demikian pula bantahan beliau atas Khowarij dalam kitabnya Akhbar Al Khawarij, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan olah Rasulullah. Maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji'ah dan Mu'tazilah.
Ia wafat di kota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid Al Haasyimy.
[sunting]Lihat pula
 Hadits
 Sunan Abu Dawud
[sunting]Catatan
1. ^ (Arab) Tarikh Al-Baghdadi (IX/56).
[sunting]Referensi
 (Inggris) Introduction to Partial Translation of Sunan Abu-Dawud
 (Indonesia) Al-Imam Al-Muhaddist Abu Dawud
Imam Tirmidzi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Imam Turmudzi)
Belum Diperiksa
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi) adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya."
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Biografi
o 1.1 Nama dan kelahirannya
o 1.2 Perkembangan dan lawatannya
o 1.3 Wafat
• 2 Keilmuan
o 2.1 Guru-gurunya
o 2.2 Murid-muridnya
o 2.3 Kekuatan Hafalannya
• 3 Pandangan para kritikus hadits
• 4 Fiqh Tirmizi dan Ijtihadnya
• 5 Karya-karyanya
o 5.1 Sekilas tentang Al-Jami’

[sunting]Biografi
[sunting]Nama dan kelahirannya
Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur, lahir di kota Tirmiz.
[sunting]Perkembangan dan lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
[sunting]Wafat
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
[sunting]Keilmuan
[sunting]Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
[sunting]Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
[sunting]Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau."
[sunting]Pandangan para kritikus hadits
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmizi ke dalam kelompok "Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Tirmizi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama."
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
[sunting]Fiqh Tirmizi dan Ijtihadnya
Imam Tirmizi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
"Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Imam Tirmizi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagian ahli ilmu berkata: " apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil." Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: "Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil)." Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim."
Menurut Ishak, maka perkataan "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim" ini adalah "Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu."
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmizi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
[sunting]Karya-karyanya
Imam Tirmizi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab Al-‘Ilal
3. Kitab At-Tarikh
4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
5. Kitab Az-Zuhd
6. Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
[sunting]Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
1. "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak salat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
2. "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai salat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
Imam Nasa'i
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari An-Nasai)
Belum Diperiksa
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Imam Nasa`i dengan nama lengkapnya Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, terkenal dengan nama An Nasa`i karena dinisbahkan dengan kota Nasa'i salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 Hijriah demikian menurut Adz Dzahabi dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina lalu dikuburkan di Baitul Maqdis.
Beliau menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits yang berada di Khurasanb, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Ia termasuk di antara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad hadtsnya. Ia lebih kuat hafalannya menurut para ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ia pernah menetap di Mesir
Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud(penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa`i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi`i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa`i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa`i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa`i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
[sunting]Kritik Ibnu al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa`i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Ia tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu`, minimal menurut pandangan beliau.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu` tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu` (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu` di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa`i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu`, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa`i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa`i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa`i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu` yang termuat dalam Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa`i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa`i berkualitas shahih.
[sunting]Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-`Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa`i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja`far al-Thahawi (murid al-Nasa`i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa`i meninggal pada tahun 303 H/915M dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah.
Imam Ibnu Majah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Ibnu Majah)
Belum Diperiksa
Ibnu Majah dengan nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini . Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadan tahun 275.[rujukan?] Ia menuntut ilmu hadits dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadits dari madzhab Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulamayang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini sebelumnya tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah (lihat di bagian hadits) karena dalam kitabnya ini terdapat hadits yang dlaif bahkan hadits munkar. Oleh karena itu para ulama memasukkan kitab Al Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal
Malik bin Anas
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Imam Malik)
Belum Diperiksa
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Ahli hukum Islam
Zaman keemasan Islam

Nama: Mālik bin Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi
Lahir: 711, Madinah, Arab

Meninggal: 795, Madinah, Arab
Aliran/tradisi: Sunni Maliki

Minat utama: Fiqh

Gagasan penting: Evolusi Fiqh

Dipengaruhi: Abu Hanifah, Abu Suhail an-Nafi,Ibnu Syihab al-Zuhri, Jafar as-Sadiq, dan Hisyam bin Urwah.[1]

Mempengaruhi: Abu Yusuf, Al-Syafi'i, Sufyan al-Thawri, Abdurrahman al-Awza'i[2],Qadi Iyad, Ibnu Rusyd, al-Qurtubi,Syihab al-Din al-Qarafi, Yusuf bin Tasyfin, Ibnu Khaldun, Usman dan Fodio

Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Biografi
o 1.1 Pujian Ulama untuk Imam Malik
• 2 Kitab Al-Muwaththa
• 3 Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
o 3.1 Catatan kaki
• 4 Lihat pula
• 5 Referensi
• 6 Pranala luar

[sunting]Biografi
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :"aku dilahirkan pada 93 H". dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir,Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.
[sunting]Pujian Ulama untuk Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi'i berkata : "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in[3] ".
Yahya bin Ma'in berkata :"Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits"
Ayyub bin Suwaid berkata :"Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata:" Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"
Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i :" apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3] "
[sunting]Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi':" imam malik wafat pada usia 87 tahun" ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi'

[sunting]Catatan kaki
1. ^ MuslimHeritage.com - Topics
2. ^ The Origins of Islamic Law: The Qurʼan, the Muwaṭṭaʼ dan Madinan ʻAmal, hal. 16
3. ^ a b c Malik bin Anas: "Al Muwaththa", halaman 7-9. Mesir :Dar al-Ghad al-gadeed ISBN: 977-372-088-8
[sunting]Lihat pula
Wikisource Arab memiliki teks asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Malik ibn Anas

 Muwaththa Malik
 Mazhab Maliki
 Taba Taba'een
 Salaf
Fatwah:
 talaq tiga
[sunting]Referensi
[sunting]Pranala luar
 Kehidupan Imam Malik
 Biografi Imam Malik
 Biografi lengkap Imam Malik
 Al-Muwatta' Imam Malik
 Muslim Norwich Komunitas Maliki
www.agussubandicom@yahoo.co.id

Minggu, 23 Oktober 2011

Hadits

Agus Subandi,Drs.MBA
Hadits
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki.
Artikel ini adalah bagian dari seri
Islam

Rasul

Nabi Muhammad SAW
.
Kitab Suci

Al-Qur'an
.
Rukun Islam
1. Syahadat · 2. Salat · 3. Puasa
4. Zakat · 5. Haji
Rukun Iman
Iman kepada : 1. Allah
2. Malaikat · 3. Kitab Allah ·4. Nabi
5. Hari Akhir · 6. Qada & Qadar
Tokoh Islam
Muhammad SAW
Nabi & Rasul · Sahabat
Ahlul Bait
Kota Suci
Mekkah · & · Madinah
Kota suci lainnya
Yerusalem · Najaf · Karbala
Kufah · Kazimain
Mashhad ·Istanbul · Ghadir Khum
Hari Raya
Idul Fitri · & · Idul Adha
Hari besar lainnya
Isra dan Mi'raj · Maulid Nabi
Asyura
Arsitektur
Masjid ·Menara ·Mihrab
Ka'bah · Arsitektur Islam
Jabatan Fungsional
Khalifah ·Ulama ·Muadzin
Imam·Mullah·Ayatullah · Mufti
Hukum Islam
Al-Qur'an ·Hadist
Sunnah · Fiqih · Fatwa
Syariat · Ijtihad
Manhaj
Salafush Shalih
Mazhab
1. Sunni :
Hanafi ·Hambali
Maliki ·Syafi'i
2. Syi'ah :
Dua Belas Imam
Ismailiyah·Zaidiyah
3. Lain-lain :
Ibadi · Khawarij
Murji'ah·Mu'taziliyah
Lihat Pula
Portal Islam
Indeks mengenai Islam
lihat • bicara • sunting
Hadis (Bahasa Arab: الحدي, transliterasi: Haidits), [ adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Etimologi
2 Struktur Hadis
2.1 Sanad
2.2 Matan
3 Klasifikasi Hadis
3.1 Berdasarkan ujung sanad
3.2 Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
3.3 Berdasarkan jumlah penutur
3.4 Berdasarkan tingkat keaslian hadis
3.5 Jenis-jenis lain
4 Periwayat Hadis
4.1 Periwayat Hadis yang diterima oleh Muslim
4.2 Periwayat Hadis yang diterima oleh Syi'ah
5 Pembentukan dan Sejarahnya
5.1 Masa Pembentukan Hadis
5.2 Masa Penggalian
5.3 Masa Penghimpunan
5.4 Masa Pendiwanan dan Penyusunan
6 Kitab-kitab Hadis
6.1 Abad ke 2 H
6.2 Abad ke 3 H
6.3 Abad ke 4 H
6.4 Abad ke 5 H dan selanjutnya
7 Beberapa istilah dalam ilmu hadis
8 Catatan kaki
9 Referensi
10 Pranala luar
[sunting]Etimologi

Hadis secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadis berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Menurut istilah ulama ahli hadis,[siapa?] hadis yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadis di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadis yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadis itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]
[sunting]Struktur Hadis

Secara struktur hadis terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadis riwayat Bukhari)
[sunting]Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadis. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadis tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadis.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Hadis terkait dengan sanadnya ialah :
Keutuhan sanadnya
Jumlahnya
Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadis-hadis nabawi.
[sunting]Matan
Matan ialah redaksi dari hadis. Dari contoh sebelumnya maka matan hadis bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadis ialah:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
[sunting]Klasifikasi Hadis

Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadis (dapat diterima atau tidaknya hadis bersangkutan)
[sunting]Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :
Hadits Marfu' adalah hadis yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadis sebelumnya)
Hadits Mauquf adalah hadis yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadis tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
Hadits Maqtu' adalah hadis yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadis ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadis) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadis yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).
[sunting]Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadis terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadis > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
Hadits Musnad, sebuah hadis tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadis tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadis berdasarkan waktu dan kondisi.
Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadis mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
[sunting]Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
[sunting]Berdasarkan tingkat keaslian hadis
Kategorisasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis tersebut. Tingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadis. Hadis shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Sanadnya bersambung;
Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadis .
Hadits Hasan, bila hadis yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadis yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudu', bila hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
[sunting]Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadis lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
Hadits Matruk, yang berarti hadis yang ditinggalkan yaitu Hadis yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
Hadits Mungkar, yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.
Hadits Mu'allal, artinya hadis yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadis yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadis yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadis ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadis sakit atau cacat)
Hadits Mudlthorib, artinya hadis yang kacau yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
Hadits Maqlub, yakni hadis yang terbalik yaitu hadis yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
Hadits gholia, yaitu hadis yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
Hadits Mudraj, yaitu hadis yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
Hadits Syadz, Hadis yang jarang yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
Hadits Mudallas, disebut juga hadis yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadis Mudallas ini ialah hadis yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya
[sunting]Periwayat Hadis



Sampul kitab hadis Sahih Bukhari
[sunting]Periwayat Hadis yang diterima oleh Muslim
Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
Sunan Abu Dawud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H)
Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
Musnad Ahmad, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal
Muwatta Malik, disusun oleh Imam Malik
Sunan Darimi, Ad-Darimi
[sunting]Periwayat Hadis yang diterima oleh Syi'ah
Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadis yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadis yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
Ushul al-Kafi
Al-Istibshar
Al-Tahdzib
Man La Yahduruhu al-Faqih
[sunting]Pembentukan dan Sejarahnya

Bagian ini membutuhkan pengembangan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah hadits
Hadis sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadis. Itulah pembentukan Hadis.
[sunting]Masa Pembentukan Hadis
Masa pembentukan Hadis tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Hadis belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. periode ini dimulai sejak muhammad diangkat sebagai nabi dan rosul hingga wafatnya (610M-632 M)
[sunting]Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadis belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Hadis dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
[sunting]Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Hadis baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Hadis palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Hadis baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Hadis itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Hadis. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Hadis yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Hadis marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
[sunting]Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Hadis. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadis sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadis dan memisahkan kumpulan Hadis yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan Hadis pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Hadis yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadis terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Hadis. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Hadis seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Hadis abad 4 H.
[sunting]Kitab-kitab Hadis

Berdasarkan masa penghimpunan Al Hadits
[sunting]Abad ke 2 H
Beberapa kitab yang terkenal :
Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
Mukhtaliful Hadits oleh As Syafi'i
Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadits. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.
[sunting]Abad ke 3 H
Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Imam Malik imam Ahmad
[sunting]Abad ke 4 H
Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
[sunting]Abad ke 5 H dan selanjutnya
Hasil penghimpunan
Bersumber dari kutubus sittah saja
Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
Kitab Al Hadits Akhlaq
At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Syarah (semacam tafsir untuk Hadis)
Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
Mukhtashar (ringkasan)
Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
Lain-lain
Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadis-hadis tentang doa.
Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Hadis yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
[sunting]Beberapa istilah dalam ilmu hadis

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadis antara lain:
Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadis Bukhari dan Muslim
As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal(Imam Ibnu Majah)
Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
[sunting]Catatan kaki

^ "Hadith," Encyclopedia of Islam.
^ Lisan al-Arab, by Ibn Manthour, vol. 2, pg. 350; Dar al-Hadith edition.
^ al-Kuliyat by Abu al-Baqa’ al-Kafawi, pg. 370; Al-Resalah Publishers. This last phrase is quoted by al-Qasimi in Qawaid al-Tahdith, pg. 61; Dar al-Nafais.
[sunting]Referensi

The Classification of Hadeeth by Shaikh Suhaib Hassan
Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz
Metodologi Kritik Matan Hadits oleh Dr. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, terjamahan, ISBN 979-578-047-6
[sunting]Pranala luar

(Indonesia) Sunnah 9 Kitab Imam Hadits dalam bahasa Indonesia
(Indonesia) Kumpulan hadits shahih, dha'if (lemah) & maudhu' (palsu)
(Indonesia) Hadits-hadits
(Indonesia) Musthohalul hadits, Istilah-istilah hadits. Milis Assunnah
(Indonesia) Hadits Ahad, Ust. Ahmad Syarwat, Lc.
(Indonesia) Belajar Hadits di Media Muslim INFO
(Indonesia) Buku Tema Hadits di Al-Ilmu.Com
(Inggris) Introduction to the Science of Hadith Classification by Shaikh (Dr.) Suhaib Hassan
(Inggris) A collection of the ahadith in Sahih Bukhari
(Inggris) A collection of the ahadith in Sahih Muslim

Kategori: IslamHukum IslamHaditsKata dan frasa Arab

agussubandicom@yahoo.co.id

Jumat, 14 Oktober 2011

Tafsir al Qur'an

Agus Subandi, Drs. MBA

Tafsir al-Qur'an: Definition, Function and Development
Introduction
The word tafsir is derived from the Arabic word fasara, which literally means to lift the curtain, to make clear, to show the objective, and hence by analogy tafsir is the body of knowledge which aims to make clear the true meaning of the Qur'an, its injunctions and the occasions of its revelation. This research is based upon the traditional transmitted material about the Qur'an. Although tafsir is an Arabic word the process was known before the age of Islam. Jews and Christians used the term in various ways for their translations and commentaries on the Bible in the past.[1 ]Another word ta'wil has been also used to denote the interpretation or reclamation of meanings of the Qur'an text. Some scholars believe that ta'wil is synonymous with tafsir, others have denied and suggest that tafsir refers to the illumination of the external meaning of the Qur'an while ta'wil is the extraction of the hidden meanings. [2]
The commentator or exegete is called a mufassir. His responsibility is to explain the text of the Qur'an as fully as possible. He aims to show where, when and why a subject is written and what it meant during the time of the Prophet, his companions and subsequent followers. He eventually tries to make the text communicate meaningfully within his or her own time and cultural framework.
Basic Conditions / requisites
According to Shah Abdul Aziz Dehlawi, a Mufassir should keep in mind the following three conditions in his exegesis of the Qur'an:
• a) Every word should be explained with its real meaning. In order to achieve the mufassir should have command in linguistic knowledge and grammar.
• b) Everything needs to be explained within its reference and context to the main theme.
• c) The interpretation should not be contrary to that of the Sahaba (Muhammad's companion) who witnessed the coming of the revelations to the Prophet.[3]
Though there are both Muslims and non-Muslims who have written commentaries on the Qur'an, the majority of Muslim scholars insist that the mufassir must be a Muslim. He should be sound in belief, aqida; well grounded in the knowledge of Arabic and its rules as a language." He should "have the ability for precise comprehension" of the Qur'an and "abstain from the use of mere opinion.[4]
A mufassir should have the knowledge of the science of recitation of the Qur'an, Ilm al-Tajwid. He should know the Ilm al-Hadith to recognize that which is Mubhem, ambiguous, and to elaborate on that which is Mujamil, brief or abridged. He must have studied thoroughly the various schools of thought, Ilm al-Fiqh. The Mufassir should have knowledge of Asbab al-Nuzul, reasons for the revelation of the different verses and should have knowledge about the theory of abrogation of verses of the Qur'an, al-Nasikh wa al-Mansukh.[5]
Kinds of tafsir
In later years, commentators and Qur'anic scholars formulated various rules of interpretation. Foreign thoughts, knowledge and reasoning were also woven into the fabric of Islamic thought and culture. This amalgamation emerged in several kinds of tafsir and can be divided into two or three groups, i.e., tafsir bil riwaya, by transmission; tafsir bil-ra'y, sound opinion or knowledge and tafsir bil-ishara, by indication.
• Tafsir bil-riwaya (also known as Tafsir bil-mathur) includes the interpretation of the Qur'an by Quranic verses and use of the explanations of the prophet and his companions. Books of this class of tafsir include those attributed to Ibn Abbas, Ibn Abi Khatim, Ibn Habban, and that of Imam Suyuti known as Al-Dur al-Mansu, tafsir by Khatir and al-Shukani may also be included in this group.
• Tafsir bil-ray (or Tafsir bil-dirayah) is not based directly on transmission of knowledge from the past, but on reason. Exegesis is derived through opinion based on reason and Ijtihad or Qiyas. In this area we find tafsirs like al-Kashaf by Zamakshari (d. 1144).
• Tafsir bil-ishara: It goes into the detail of the concepts and ideas associated with the words and verses of the Qur'an. This kind of tafsir is often produced by mystically inclined authors. The most famous are those by al-Razi and al-Khazin.
Ibn Jarir has reported through Muhammad ibn Bashshar Muammal, Sufyan and Abul Zanad that Ibn Abbas said, "tafsir is of four kinds: One which Arabs can know from the language; second which no one can be excused for not knowing; third which only the scholars know; and fourth, which God alone knows."[6]
Early Development: tafsir in the time of Muhammad
During the lifetime of the Prophet, his companions used to ask him questions relating to the interpretation of the Qur'an and the different aspects of the injunctions contained in it. The prophet used to explain to them the revelation. Muslim scholars believe that the result of such inquiries was that the companions came to know all about the causes of revelation, Asbab an-Nazul of different verses. They also became aware of the verses that were abrogated and those verses that were replaced by other verses.
The authority to explain was granted to the Prophet by God himself as laid down in the Qur'an, "We have sent down unto thee (also) the Message; that thou mayest explain clearly to men what is sent for them, and that they may give thought" (Surah 16:44). Therefore, Muslim scholars state that the things said by the Prophet in explanation or to which he gave silent approval were committed to memory by the companions. Being men of great learning many of them had not only memorised the Qur'an but also had full knowledge of when, where and why verses of the Qur'an were revealed.
Tafsir in the time of the Khulafa Rashidoon
After the death the Prophet, the companions taught others the Qur'an and its interpretation. Scholars recognise that the Khulafa Rashidoon, the rightly guided, were Mufassirin of the Qur'an. Others from the Prophet's time that were recognised as scholars of the Qur'anic tafsir are Abdallah Ibn Abbas (d. 687), Abdallah Ibn Mas'ud (d. 653), Ubayy Ibn Ka'b (d. 640 AD), Zayd Ibn Thabith (d. 665), Abu Musa al-Ashari (d. 664) and Abdallah Ibn Zubayr (d. 692).[7] It is generally stated that in the subsequent period after Muhammad, three schools were established to explain the Qur'an: The Meccan school led by Abdallah Ibn Abbas, the Madinan school led by Ubayy Ibn Ka'b and the Iraqi school led by Abdallah Ibn Mas'ud. The methodologys adopted by them was based more on transmission, riwaya. While Abdallah Ibn Abbas who is repudiated to be the first exegete in the history of Islam, in the light of the traditions it would seem that Abdallah Ibn Mas'ud had a reputation in teaching the Qur'an. Muhammad recognised the efforts of Abdallah Ibn Masud's learning of the Qur'an, so much so that he recommended others to learn from him. Ali Ibn Abi Talib said about his scholarship, "He knows the Qur'an and the Sunnah and his knowledge is the best."[8]
Tafsir in the time of the Tabi'un
Many of the companions of the Prophet taught the Qur'an and its exegesis to the next generation of Muslims, Tabi'un. The conversion of many people from different faiths and walks of life made it imperative that the Tabi'un should not only treasure the existing information but also build on it a body of learning known as Ulum al-Qur'an.
It is believed that within a half century after Muhammad's death three main schools of Qur'anic tafsir had developed in Makkah, Madinah and Iraq. The Makkan group is said to have been taught by Ibn Abbas. The best known of the group among learners are Mujahid (d. 722), Ata (d. 732) and Ikrima (d. 729).
The Madinan group had the best known teachers such as Ubay b. Kab. This group had some well known Muffasirin for example, Muhammad b. Kab al-Qarzi (d. 735), Abul Alliya al-Riyahi (d. 708) and Zaid b. Aslam (d. 747).
The Iraqi group who followed Ibn Masud had centres in Basra and Kufa. The best known among the teachers in tafsir were Al-Hasan al-Basri (d. 738), Masruq (d. 682) and Ibrahim al-Nakhai (d. 713).
Tafsir in the time of Taba' Tabi'un
In the period following the above, others like al-Suddi (d. 745) and Sulayman (d. 767) came forward in this field and some of their work survives in the collections of Hadith and recent versions attributed to them. A complete book of tafsir by Mujahid (d. 935)is available which is based on a manuscript from the 13th century AD.[9] However the oldest work of tafsir extant today is of Al-Tabari (d. 922 AD).[10] Some believe that he was the first man to write Qur'anic exegesis explaining it side by side with the Sunnah. Since then the process of tafsir has continued until today. Some of the classical tafsirs amongst the Sunni Muslims are those of al-Baghawi; al- Zamakhshari, al-Baidawi, Al-Ghazali, al-Qartabi, al-Jalalayn, al-Mudarik, al-Hussain, Al-Jalalayn, al-Mazhari and Azizi, etc .[11]
Tafsir in modern times
Though the mood of tafsir writing in modern times is the same to make the text understandable and relevant, there have been other areas in which attempts are made to interpret the Qur'anic text in the light of "modern and scientific reason". The earliest effort in this area was of Sayyid Ahmad Khan (d.1898). His modernist but incomplete subject wise commentary was entitled simply Tafsir al-Qur'an. He tried to interpret the question of revelation, miracles and the message of the Qur'an in the light of available "enlightenment" from the West. To encourage social and educational reforms he tried to strike a balance between western and eastern ideas and find support in the Qur'an.
Muhammad Abduh (d. 1905), from Egypt is considered by some the most significant exponent of the modernist school. He spent his time as a teacher and later as a judge, mufti, giving decisions, fatwas which embodied the modernist stance. He struggled against the traditional enterprise of tafsir. His incomplete tafsir of the Qur'an, tafsir al-Manar, based upon his class lectures and the text of his legal decisions has been edited and published by Rashid Rida, his follower.[12]
Other tafsirs in this arena are Tarjuman al-Qur'an by Abul Kalam Azad (d. 1958), Fi Zilal al-Qur'an by Syed Qutub (d. 1960), and Tafhim al Qur'an, by Mawdudi (d. 1979). In English there are several commentaries available today as of Yusuf Ali, Mawdudi, and of Muhammad Asad etc. Abridged and some incomplete editions of a few classical commentaries, e.g. Tabari, Baidhawi, Zamkhshari and Ibn Kathir are also available.
Differences in tafsir
One tafsir may differ with another on the interpretation of a text of the Qur'an. There are a number of reasons for this but the most important one may be external or internal. In Ibn Taimiya's opinion, for example, a Mufassir may have used unsound material and his interpretation actually rests on some pre conceived belief or other motive thus introducing false innovation, bida.
Some Mufassirin have used the Isra'iliyat, the Jewish origins of the narratives mentioned in the Qur'an particularly derived from non-canonical Jewish and Christian traditions. Such material was used by some of the Sahaba, but it was referred to more by the Tabi'un and by later generations. The other difference may have been internal. A Mufassir may have had difficulty understanding the words or may explain them according to the limitations of his circumstances.[13]It is due to such reasons that some scholars in their exposition of kind of tafsirs have divided Tafsir bil-ray further into two categories: Tafsir mamduh (praise worthy tafsir) and Tafsir madhumumah (blameworthy tafsir). Tafsir madhumumah is a tafsir which has mostly relied on dha'if (weak) and mawdu' (spurious) traditions; has not given consideration to the saying of the sahaba (companions of Muhammad); has no regard for the Arabic language in its interpretation and given no consideration to phenomena that are in conformity with the meaning of the Arabs.
Conclusion:
Much has been written to interpret the Qur'an to help Muslim communities in their daily doings through the years. Nowadays as we saw above, the Qur'an is interpreted in the light of scientific reasons and methodology. However, the best method and foremost way is to interpret the Qur'an by the Qur'an and use the Prophet's Sunnah and the way the Sahaba understood the text as mentioned in the classical literature.
************
References:
[1] Robert Britton, The Last of the Prophets, p. 109, (Worthing: Churchman Publishing, 1990).
[2] Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, chapter 77, pp. 424-430.
[3] Abdur Rahman I. Doi, Shariah: The Islamic Law, p.22, (London: Taha Publishers, 1984).
[4] Ahmad Von Denffer, Ulum al-Qur'an: An Introduction to the Sciences of the Qur'an., p.122 (Leicester: Islamic Foundation, 1994).
[5] Abdur Rahman I. Doi, Shariah: The Islamic Law, p.35.
[6] Imam Ibn Taymiyah, tr. M. Abdul Haq Ansari, An introduction to the exegesis of the Qur'an, p. 48, (Riyadh: Ibn Saud Islamic University, 1989).
[7] Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al Qur'an, p. 968, cited by Doi, pp.25-26.
[8] Al-Dhabi, p.86 cited by Doi, pp. 26.
[9] Surti, Tafsir Mujahid, 2 Vols. (Beruit, n.d), cited by Ahmad Von Denffer, p.130
[10] Helmut Gatje, The Qur'an and its exegesis, p. 34, (Oxford: Oneworld, 1997).
[11] Thomas Patrick Hughes, Dictionary Of Islam, p.522, (Delhi: Cosmos Publication, 1978).
[12] Rashid Rida, Tafsir al-Manar, 12 vol., (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyya, 1999).
[13] Ibn Taymiyah, tr. M. Abdul Haq Ansari, An introduction to the exegesis of the Qur'an, p.17.
Bibliography
___ The Holy Qur'an. (tr. A. Yusuf Ali), Maryland: Amana Corp. 1983.
Gattje, Helmut. The Qur'an and its exegesis, [English trans. & ed. Alford T. Welch], (Oxford: Oneworld, 1997),
Hughes, Thomas Patrick. Dictionary of Islam, (Delhi: Cosmo Publications. 1978).
Imam Ibn Taymiyah, tr. M. Abdul Haq Ansari, An introduction to the exegesis of the Qur'an, (Riyadh: Ibn Saud Islamic University, 1989).
Mawdudi, Abul A'ala. Towards understanding the Qur'an, Vol 1, [Ed. Zafar Ishaq], (Leicester: Islamic Foundation, 1988).
Rahman I. Abdur, Doi, Shariah: The Islamic Law, (London: Taha Publishers, 1984).
Robert Britton, The Last of the Prophets, (Worthing: Churchman Publishing, 1990)
Von Denffer, Ahmad. Ulum al-Qur'an: An introduction to the Science of the Qur'an, (Leicester: Islamic Foundation, 1985)
Welch, A.T. "Al-KUR'AN" in The Encyclopaedia of Islam, 5:400-432. New Edition. Leiden: E.J. Brill, 1990.